DAFTAR ISI

Kamis, 01 Juli 2010

RINGKASAN EMAK INGIN NAIK HAJI

Film ini menggambarkan perjuangan orang kecil yang rindu naik haji.

Mak
menundukkan kepala, merayapi daster batik kusam yang dipakainya. Tidak
lama, sebab satu pikiran mencerahkan wajah perempuan itu lagi.
"Masjidnya bagus di sono ya, Zen? Lampunya banyak," Mak terkekah.
"Eh, berape sekarang ongkosnya, Zen?"
"ONH biasa atau plus, Mak?"
Mak tertawa. Beberapa giginya yang ompong terlihat.
"Kagak usah plus-plusan. Mak kagak ngerti."
"Kalo kagak salah dua ribu tujuh ratusan."
"Murah itu!"
Kali ini Zen tertawa.
"Pakai dolar itu, Mak. Kalau dirupiahin mah dua puluh tujuh jutaan."
Suara riang Mak kontan meredup, "Dulu sih kita punya tanah. Tapi keburu dijual waktu Bapak sakit."
Beberapa
saat Mak hanya menghela napas panjang. Suaranya kemudian terdengar
seperti bisikan, "Mak pengin naik haji, Zen. Pengin."

Begitulah sepenggal potongan cerpen karya Asma Nadia yang berjudul Emak Ingin Naik Haji.
Sebuah cerpen yang menggambar kesediahan seorang wanita tua (Emak) yang
tidak mampu mengumpulkan segepok uang bekal naik haji. Sementara
anaknya, Zein, merasa menjadi pecundang seumur hidup karena tidak bisa
mewujudkan mimpi Emaknya itu.

Karena kekuatan ceritanya itu,
cerpen yang dibuat pada tahun 2007 ini lantas digubah ke skenario film
layar lebar oleh Aditya Gumay dan Adenin Adlan. Aditya pula yang
menyutradarainya. Didi Petet, Reza Rahardian (Zein), Aty Kanser (Emak),
Ustad Jeffri, dan Nini El Karim dipercaya sebagai pemain. Kini shooting sedang dilakukan di Jakarta, dan akan berlanjut di Pelabuhan Ratu dan Mekkah.

Dari
sudut pandang Asma, kisah Emak dalam cerpen tersebut merupakan salah
satu bentuk gambaran ketimpangan umat Islam Indonesia dalam melaksankan
rukun kelimanya. "Ada orang yang susah sekali naik haji tapi ada juga
orang yang berkali-kali naik haji," ujarnya.

Karena permasalahan
sosial itu, Asma sudah sejak lama menginginkan sebuah karya tulis yang
bertema haji. Lama keinginan itu terpendam hingga pada tahun 2007
Majalah Nur memintanya menulis sebuah cerpen tentang haji.

Permintaan
itu datang sekitar satu bulan sebelum Asma benar-benar naik haji. Dia
diberikan waktu lima hari untuk menyelesaikan cerpen tersebut. Namun,
karena merasa kurang cocok dengan hasil yang dia buat, Asma meminta
tambahan waktu lagi.

Segala upaya dia curahkan untuk membuat
satu buah cerpen itu. Dia bahkan melakukan riset tentang cara-cara
orang naik haji. Dia mendapatkan kenyataan bahwa ada tarif naik haji
dengan pelayanan biasa saja, tetapi ada pula yang dengan tarif sangat
mahal dan fasilitas yang luar biasa.

Pengalaman
Bagi
sebagian orang, naik haji bukan masalah besar, tapi ada sebagian orang
yang harus bersusah payah mengumpulkan uang untuk naik haji. Pengalaman
inilah yang juga dirasakan Asma ketika menetapkan hati untuk
melaksanakan rukun Islam yang kelima itu.

Pada awalnya dia
hendak naik haji sendiri, namun sang suami kemudian terdorong untuk
ikut naik haji. Tapi, uang yang mereka miliki belum cukup. Asma bahkan
sempat menawarkan bantuan kepada biro perjalanan haji untuk membuatkan leaflet, brosur atau foto-foto cantik asalkan dia bisa mendapatkan potongan harga untuk naik haji.

Namun,
biaya naik haji makin membumbung tinggi sehingga sulit untuk dijangkau.
"Tapi berkat Allah saya dan suami bisa juga naik haji sampai suami
bilang kita kira haji itu kita yang bayar tapi ternyata Allah yang
bayar. Pokoknya nabung dan diniatin untuk haji meski cuma seribu perak
per hari," ungkapnya.

Ketika sedang berada di tanah suci Asma
juga menyaksikan bahwa cerpen yang dia buat itu bisa sangat
menggambarkan perjuangan orang-orang yang merindukan naik haji. Asma
bertemu dengan sepasang kakek nenek yang usianya sudah mendekati 80
tahun. Mereka sudah berada di tanah suci sejak bulan Ramadhan.

Untuk
bertahan hingga bulan haji mereka memasang tenda kecil sekadar untuk
berteduh. Mereka berangkat dengan usaha sendiri tanpa menggunakan paket
ONH karena tidak bisa menunggu lagi, karena sudah uzur.

Aditya
Gumay sang sutradara merasa bahwa fenomena yang terjadi tentang haji
ini dialami banyak orang sehingga patut untuk diangkat dalam sebuah
film. Saat ini tim produksi sedang sibuk melakukan shooting di beberapa
wilayah di Jakarta dan sekitar pulau Jawa. rosyid nurul hakim

Persiapan yang Unik

Sebelum Aditya Gumay mendapatkan izin dari Asma Nadia untuk mengangkat cerpen Emak Ingin Naik Haji ke layar lebar, dia sudah melakukan persiapan, penulisan skenario dan pembelian properti.

Keyakinan
Aditya itu berawal ketika pertama kali membaca cerpen itu pada
pertenghan tahun 2008. Saat menghadiri acara perpisahan TK Al Ahzar di
Taman Mini, dia mendapat sebuah goody bag berisi majalah-majalah lama. Salah satunya adalah Nur terbitan Desember 2007.

Saat
membuka-buka majalah itu, matanya terpaut pada cerpen tersebut. Ketika
selesai membacanya, hatinya tersentuh. "Saya bahkan sudah mendapatkan passion, keharuan dan sentuhannya untuk diangkat dalam bentuk film," ujarnya.

Dalam
benaknya dia membayangkan perjuangan seorang anak untuk membahagiakan
emaknya. Banyak sekali orang yang ingin menghajikan orang tuanya, tapi
tidak memiliki dana. "Film ini mewakili begitu banyak impian anak yang
ingin membahagiakan orang tuanya," jelasnya.

Karena sudah
mendapat gambaran utuh tentang film yang bakal dibuatnya itu, Aditya
berani membeli berbagai properti yang cocok ketika dia dan ibunya umroh
pada Agustus 2008 lalu. "Padahal waktu itu saya belum ketemu Asma,"
katanya.

Selain itu, pada bulan desember 2008 dia sudah menggarap skenario film ini bersama dengan Adenin Adlan.

Jauh
hari sebelumnya, Aditya sebenarnya sudah berusaha mencari nomor telepon
sang penulis. Tetapi ketika nomor itu baru saja didapatkan, ternyata handphone Asma Nadia hilang sehingga nomor itu menjadi tidak berguna.

Enam
bulan kemudian, dari seorang rekan, dia mendapatkan nomor kontak sang
penulis. Mereka akhirnya bertemu setelah skenario dan beberapa
persiapan awal untuk pembuatan film sudah selesai. "Saya bahkan
langsung ditodong kontrak kerja padahal baru ketemu," ujar Asma Nadia.
kim

Shooting Penuh Kemudahan

Ketika memulai shooting, Asma merasakan semangat dari setiap kru dalam tim produksi Emak Ingin Naik Haji. Mereka merasa mendapatkan jiwa yang berbeda ketika menggarap film ini. "Ada semacam syiar di dalamnya," ujarnya.

Bagi Aditya, shooting yang masih berjalan ini banyak mendapatkan kemudahan. Salah satunya ketika kru kesulitan untuk mendapatakan lokasi shooting
yang bisa menggambarkan keadaan yang sesuai dengan cerita. Sebuah rumah
kumuh milik Emak yang bersebelahan dengan rumah mewah tempat sang
juragan haji.

Berhari-hari lokasi itu dicari namun sulit untuk
dtemukan. "Karena umumnya rumah orang kaya di komplek elit, sedangkan
rumah orang miskin di tempat kumuh. Jadi cukup sulit mendapatkan lokasi
yang pas," ujarnya.

Kemudahan tiba-tiba saja muncul ketika
seorang temannya menawarkan rumah besar dan rumah kontrakan miliknya.
Rumah kontrakan kecil berderet mirip bedengan itu tepat berhadapan
dengan rumah besar sehingga bisa menjadi lokasi yang cocok. Seketika,
kru langsung bergerak untuk mendandani rumah kontrakan itu agar semirip
mungkin dengan gambaran dalam cerpen.

Rumah kontrakan yang
sebelumnya berdinding tembok dan berlantai keramik, dipermak sedemikan
rupa sehingga menjadi kawasan kumuh. Aditya bersama kru artistik banyak
berburu barang-barang bekas sebagai pengisi rumah Emak.

Selain
itu, dia juga mencari kayu-kayu bekas untuk menutup semua tembok serta
mengganti ubin keramik. "Soalnya kita mau membuat rumah ini terlihat
kumuh dan menjadi bangunan kayu," ujarnya.
Aditya mengharapkan semua kemudahan itu akan terus terjadi dalam proses shooting
yang dijadwalkan selama 20 hari -- 15 hari di jakarta, satu hari di
Pelabuhan Ratu, dan sisanya di Mekkah. "Di Mekkah kita mau mengambil
montase perjalan emak yang akhirnya terwujud. Kita bakal berangkat saat
umroh. Kita ingin mendapat gambar orang saat sholat yang mengerumini
Kabah," ujarnya.

Selama lima hari shooting di tanah suci itu,
Aditya sudah memperhitungkan segala situasi termasuk bawaan peralatan
pengambilan gambar yang diusahakan tidak terlalu banyak dan juga
masalah perizinan.

SINOPSIS LAINNYA
Ketika membaca judul film ini, dan melihat posternya, yang pertama terlintas dalam benakku adalah sosok perempuan tua, yang sudah lama malang melintang di jagad perfilman dan dalam kesempatan ini menjadi pemeran utama yang sangat tepat - pas - kalau diibaratkan dengan masakan itu ya MAKNYUUSSSS!!!

Seorang ATIK KANSER sangat tepat memerankan sosok seorang ibu alias emak-emak yang sudah tua karena usia (bukan polesan make up), hidup sederhana dari keahliannya membuat kue. Hidup bertetangga dengan sebuah keluarga kaya, bagaikan bumi dan langit saja kedua keluarga ini layaknya. Emak dan anaknya yang duda, Zein, si pelukis, tinggal berdua saja menempati sebuah rumah yang reotnya hampir menyamai peotnya si emak.

Emak yang sederhana, tutur katanya lembut dan halus, hatinya tulus dan bersih, dan yang pasti sangat beriman kepada Allah Swt. Keyakinannya itu memuluskan hari-harinya, sehingga semua terasa mudah dan tak ada beban. Sikap Emak yang selalu mensyukuri apapun yang didapat dan yang terjadi di dalam hidupnya. Kasih sayang Emak yang begitu jelas, kelembutan Emak menghadapi anak semata wayangnya membuat anak manapun takkan tega untuk menyakiti hatinya.

Hasrat yang begitu menggebu-gebu untuk bisa bertandang ke Tanah Suci, tidak membuat Emak kalap dalam mengais rejeki. Dengan penuh kesabaran Emak mengumpulkan sen demi sen hasil berjualan kue, yang dalam lima tahun baru terkumpul lima juta. Emak tetap optimis, tetap bersangka baik, bahwa andai raganya tak sampai ke Tanah Suci sekalipun, tapi hatinya sudah sampai di sana terlebih dulu.

Ka'bah terasa sudah di depan mata, bukan dalam bentuk bayang-bayang semata, berkat lukisan Zein yang mereka sepakati untuk dijadikan hiasan di rumah mereka sendiri. Sempat aku me-reka sendiri jalan cerita film ini bahwa nantinya tetangganya yang orang kaya akan datang tanpa sengaja dan melihat lukisan itu, kemudian membelinya senilai biaya ke Tanah Suci buat Emak. Tapi aku kecele, alur ceritanya tidak seperti itu. Aditya Gumay berhasil mengecohku dan aku harus mengakui kali ini bahwa tidak semua film Indonesia itu dapat ditebak alur ceritanya dengan mudah.

Emak yang baik hati, bahkan merelakan uang tabungannya demi biaya operasi cucunya. Scene ini sungguh menjadi pelajaran bagiku, dan semoga juga buat penonton lainnya, bahwa seringkali kita merasa kita dapat mengatur segala hal di dalam hidup kita, sehingga kita lupa bahwa ketentuan Allah-lah yang sudah pasti akan terjadi dan itulah yang terbaik. Sering kita jumpai di dalam kehidupan ini, kita tak rela meminjamkan uang simpanan kita untuk biaya berobat seseorang, entah itu kerabat atau ada orang yang minta tolong, dengan pertimbangan bagaimana jika uang itu tidak kembali atau bagaimana jika kita membutuhkan uang itu beberapa waktu setelah uang diberikan kepada orang lain. Lagi-lagi kalimat bahwa Allah sudah menentukan takaran rejeki setiap orang belum dipahami sepenuhnya dalam artian yang sebenar-benarnya. Ketakutan yang muncul di pikiran kita, seringkali tidak sebangun sejalan dengan apa yang seharusnya kita yakini.

Zein yang sempat khilaf gara-gara melihat uang sekoper di kamar Haji Sa'un - yang diperankan dengan apik oleh Didi Petet. Kekhilafan yang muncul demi membayangkan biaya operasi anaknya, juga ongkos naik haji Emak. Begitulah hati yang bersih, dalam keadaan khilaf dia dapat cepat tersadar, dan beruntung Allah masih menutup aibnya, sehingga dia selamat dan tidak tertangkap.

Ketika adegan sampai pada Zein mengisi kupon undian, aku sempat mengira bahwa film ini akan berakhir dengan berangkatnya Emak naik haji, tentunya menang dari kupon undian tadi. Sekali lagi, aku harus mengakui Aditya sudah berhasil mengecohku untuk kedua kalinya. Sehingga ketika Zein mendapat kecelakaan ditengah rasa suka citanya karena memenangkan hadiah undian berangkat Umroh, aku mendapat pelajaran bahwa dalam suka cita pun sebaiknya tidak berlebihan. Mungkin akan lain ceritanya, jika Zein diam di rumah menanti Emak pulang, lalu berbagi berita suka cita.

Tapi di sisi lain, kecelakaan yang menimpa Zein merupakan musibah besar bagi Emak, dan dibaliknya telah menanti berita suka cita lainnya. Sepertinya ketulusan hati Emak, 'dibayar' oleh Allah dengan membuat orang yang menabraknya mau bertanggung jawab menanggung semua biaya rumah sakit Zein. Padahal si penabrak sendiri harus kehilangan istrinya. Aku meyakini bahwa perbuatan baik yang kita buat, dapat juga dinikmati oleh orang-orang disekeliling kita, demikian juga sebaliknya.

Potret seorang pejabat yang memaksakan diri untuk berangkat ke Tanah Suci demi gelar HAJI, menjadi pelengkap yang pas menunjukkan wajah Indonesia masa kini. Masih untung, pejabat di film ini masih punya hati nurani, sehingga tidak melulu arogan sampai film usai.

Aku senang karena film ini berakhir dengan BAHAGIA. Emak berhasil berangkat ke Tanah Suci berkat nazar putri sulung Haji Sa'un, bahkan kejutan lainnya datang dari Haji Sa'un yang juga mau mengongkosi Zein ke Tanah Suci menemani Emak. Alhamdulillah! Buah sabar serta istikomah pasti manis. Dan yang pasti Allah tak pernah ingkar janji pada umat-Nya, maka yang terpenting adalah PERCAYA SAJA dan tetap bersangka baik pada setiap ketentuan Alla

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAYA MINTA ANDA UNTUK KOMPLEN SAYA MOHON SETELAH BACA MAU JELEK ATAU BAIK ( PLS TO COMMEN TO ARTIKEL BLOG BEFOR READING ARTIKEL ME PLS)

Welcome To DUNIA KARYA UTAMA.BLOGSPOT.COM